Mengenang Yasmine Zaki Shahab

Tahun 1960-an, SMP-SMA Santa Maria di Jalan Nusantara (kini bernama Jalan Ir Djuanda), Jakarta Pusat, sudah dikenal sebagai salah satu sekolah khusus putri kaum jetset peranakan China dan Belanda. Hanya segelintir yang bukan peranakan China dan Belanda di sana. Di antara yang segelintir itu adalah Yasmine Zaki Shahab dan temannya, Chadidjah. Keduanya adalah orang Betawi dari keluarga terpandang.

Satu hari saat istirahat sekolah, Chadidjah menggunjingkan kakak perempuannya di kelas. Tanpa sengaja, Chadidjah melepas kata, "Mpok kite" (kakak saya). Mendengar ungkapan Betawi itu, meledaklah tawa seisi kelas. Chadidjah terkejut. Ia lalu sadar bahwa ia baru saja menunjukkan identitas Betawi-nya dan itu me-ma-lu-kan.

Dengan wajah merah, ia lari ke luar ruang kelas menuju toilet. Di sana ia menangis sejadi-jadinya. Sejak itu, kawan-kawan sekolah Chadidjah memanggil Chadidjah ,"Mpok Kite". Julukan baru itu membuat Chadidjah stres. Ia bahkan beberapa hari tidak masuk sekolah karena malu dengan panggilan "Mpok Kite".

"Cerita tentang masa kecil saya bersama Chadidjah itu menunjukkan etnis Betawi identik dengan keterbelakangan. Kala itu, masyarakat kita mengenal orang Betawi udik sebagai orang Betawi umumnya. Padahal, menurut teori saya, etnis Betawi itu terdiri dari Betawi Kota, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik. Kasus Chadidjah menunjukkan, kaum Betawi Kota pun menjadi inferior karena ikut dianggap terbelakang oleh masyarakat kita," tutur Yasmine (64) yang kini menjadi Guru Besar Antropologi UI, di rumahnya, di Jalan Masjid Bendungan II Nomor 11, Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur, Rabu (18/4/2012).

Sore itu, Yasmine menyajikan makanan ringan Samosa. Makanan mirip pastel ini berasal dari India. Menurut Yasmine, 10 tahun terakhir ini, Samosa populer di kalangan Betawi peranakan Arab. Balutan tepung yang digoreng ini bisa berisi daging cincang atau bahan vegetarian (kacang kacangan, wortel, dan atau kentang) yang diberi bumbu kari.

Buat orang-orang Betawi peranakan Arab yang umumnya berasal dari Yaman Selatan, seperti halnya keluarga Yasmine, masakan India, terutama dari Gujarat, sudah lama akrab dengan lidah mereka ("Warisan Kuliner Indonesia: Hidangan Betawi", Wahyuni Mulyawati dan Ilse Harahap, Gramedia Pustaka Utama, 2007).

Sejarah demografi
Seusai mempersilakan tamunya mencicipi Samosa, Yasmine menjelaskan, etnis Betawi diperkirakan terbentuk antara tahun 1815 dan 1893. Perkiraan didasarkan studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle.

Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tanpa menyebut etnis Betawi. Akan tetapi, dalam sensus tahun 1893, orang Arab dari Yaman Selatan atau Hadramaut dan Moor (sebutan untuk orang-orang dari Gujarat, India), Bali, Jawa, Sunda, Bugis, Sumbawa, Ambon, serta Melayu menghilang. Sebagai gantinya, muncul istilah pribumi (inlander) yang kemudian terserap ke dalam kelompok etnis Betawi.

Yasmine membagi etnis Betawi menjadi tiga golongan. Golongan pertama adalah orang Betawi Kota yang lebih banyak bekerja sebagai politisi, birokrat, ekonom, ataupun pengusaha. "Mereka menimba ilmu di sekolah umum pada pagi hari dan sekolah agama di malam hari," tutur antropolog Betawi ini. Pernikahan silang lebih banyak terjadi di antara peranakan Arab dan Indo, serta sedikit di antara peranakan China kota. Budaya Arab dan Melayu mendominasi golongan ini.

Golongan kedua, Betawi Pinggir. Usaha mereka umumnya berkebun dan mengontrakkan rumah. Mereka umumnya hanya menimba ilmu agama. Elite Betawi Pinggir biasanya memiliki pesantren.Tak heran jika dari golongan ini lahir banyak ulama berpengaruh. "Mereka yang tergolong Betawi Pinggir ini, misalnya, Ibu Hajjah Tuti Alawiyah dan Kyai Haji Abdullah Syafii," kata Yasmine. Pernikahan silang terjadi di antara etnis lokal. Mereka lebih banyak mengikuti model budaya Betawi Kota.

Golongan ketiga adalah Betawi Udik yang umumnya berpendidikan rendah dan "Islam abangan". Mereka bekerja sebagai penjaja makanan tradisional, seniman tradisional, perajin, atau menjadi petani. Golongan ini banyak melahirkan seniman-seniman tradisional.

Hubungan sosial antara orang-orang Betawi Tengah dan orang-orang Betawi Pinggir berjalan baik. Namun, kedua golongan ini mengambil jarak sosial terhadap orang-orang Betawi Udik yang dianggap tidak terpelajar. Meski demikian, golongan Betawi Udik lebih populer dibandingkan dengan dua golongan Betawi lainnya. Sebab, golongan Betawi Udik lebih cepat menyerap setiap unsur budaya lokal dan asing yang datang. Pernikahan silang pun lebih banyak melibatkan etnis lokal dan asing.

Era Sadikin
Di era pemerintahan Gubernur DKI Ali Sadikin, perangkat budaya Betawi udik mendapat ruang lebih luas. "Sadikin menjadi turning point bagi kebudayaan Betawi. Dia mengintegrasikan ketiga golongan. Gambang kromong dan lenong yang awalnya diharamkan oleh golongan Betawi Kota dan Pinggir karena dianggap vulgar, dipoles. Ukupan, sajen, dan mantera yang mengiringi acara ondel-ondel disingkirkan. Penampilan dan wajah ondel-ondel yang dulunya menyeramkan diubah menjadi lebih ramah," papar Yasmine.

Awalnya, golongan Betawi Tengah menolak langkah Sadikin. Namun, mereka kemudian menerima dengan setengah hati. "Anak-anak Betawi Kota tidak boleh ikut jadi kembang latar (penari) kesenian Betawi Udik. Orang-orang Betawi Kota hanya mengizinkan budaya Betawi baru ini tampil dalam kehidupan publik (public life) dan bukan pada kehidupan pribadi (private life) keluarga Betawi kota," ujar Yasmine.

Akan tetapi, akhirnya orang Betawi Tengah sadar, kesenian Betawi Tengah, seperti musik rebana, orkes gambus, serta tari samrah, dan tonil yang tanpa perempuan juga cenderung monoton itu, kurang menarik diangkat ke panggung.

Setelah berbagai kesenian Betawi Udik dipoles sana sini sehingga tidak lagi bertentangan dengan ajaran Islam, orang-orang Betawi Tengah dan Betawi Pinggir mau menerima budaya baru Betawi ini. Orang-orang Tugu peranakan Portugis dan Sri Lanka pembawa musik keroncong yang awalnya dianggap "Betawi tidak, asing pun tidak" akhirnya menjadi bagian dari etnis Betawi.

"Orang-orang Betawi Kota, seperti ibu Emma Amalia Agoes Bisri, bahkan membuat budaya Betawi tampil lebih elok dengan pengembangan busana, perhiasan, dan batik Betawi," tutur Yasmine. Selama pembaruan budaya Betawi ini, lanjutnya, lebih banyak orang (seniman, budayawan, dan birokrat) Jawa dan Sunda yang terlibat dibandingkan orang Betawi sendiri.

Gedongan Menteng
Yasmine adalah anak kelima dari delapan bersaudara pasangan Zaki Shahab dan Lulu Al Hadad. Kakeknya, Ali bin Ahmad bin Shahab lebih populer dengan panggilan Ali Menteng. Sebab, ia adalah tuan tanah kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

"Lahan di seluruh wilayah Menteng sampai perbatasan Kuningan itu dulu tanah kakek. Kakek kehilangan sebagian besar tanahnya setelah ditipu Pemerintah Hindia Belanda. Awalnya, pemerintah menyewa sebagian besar tanah kakek. Di atas tanah dibangun rumah-rumah tinggal. Pemerintah lalu mengalihkan surat-surat tanah kakek menjadi milik Pemerintah Hindia Belanda," papar Yasmine.

Ali Menteng menikah dengan seorang mantan biarawati Santa Maria. "Setelah menikah dengan kakek, nenek masuk Islam dan berganti nama menjadi Farida Sofia van Will," ungkap Yasmine.

Kedua orangtua Yasmine menyekolahkan ke delapan anaknya di sekolah Katolik yang kala itu dianggap lebih maju dibandingkan dengan sekolah umum lainnya. "Yang pria sekolah di SD Strada, SMP Van Lith Gunung Sahari, dan SMA Kanisius, Menteng, sedangkan yang perempuan di SD Melania, Sawah Besar, SMP Santa Maria, dan SMA Ursula, Lapangan Banteng. Kami tinggal di Jalan Mangga Besar IV, Jakarta Barat, yang saat itu bernama Gang Sumantri," papar Yasmine.

Selama tinggal di Mangga Besar IV, Yasmine sudah merasakan sikap orang-orang Betawi Tengah yang terbuka dan toleran terhadap pendatang seperti halnya keluarga orangtuanya. "Soal pendidikan, ayah berpikir lebih maju lagi. Mungkin karena pengaruh cara berfikir nenek yang orang Barat, ya," ujar Yasmine.

Seusai SMA, ia berniat melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum UI sebab, "Saya ini orang yang suka berdebat. Saya ingin menjadi pengacara andal," kata Yasmine. Akan tetapi, keinginan itu ia urungkan setelah kakak sepupunya, Doktor Psikologi, Fuad Hassan (mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), menyarankan Yasmine mengambil jurusan Antropologi. Alasannya, mahasiswanya masih sedikit, hanya lima sampai tujuh orang. Peluang untuk menonjol lebih besar.

Setelah menyelesaikan skripsinya berjudul Integrasi Minoritas Arab di Jakarta, ia diwisuda dan melanjutkan kuliahnya di Australia. Untuk skripsi master-nya, ia menulis The position of Betawi Woman.

"Saat tulisan ini tersosialisasi di Jakarta, saya diprotes sejumlah komunitas Betawi yang kelak saya kategorikan sebagai golongan Betawi Tengah. Mereka memprotes saya karena responden yang saya ambil hanya berasal dari kalangan perempuan Betawi di Condet, Jakarta Timur, yang saya golongkan menjadi Betawi Pinggir. Kondisi mereka saat itu masih memprihatinkan," jelasnya.

Akan tetapi, justru karena diprotes itulah Yasmine mengenal lebih dekat tokoh-tokoh Betawi sampai akhirnya ia terlibat lebih banyak di Lembaga Kebudayaan Betawi. Yasmine pun mengenal lebih dalam etnis Betawi sampai akhirnya membangun teori tentang tiga golongan komunitas Betawi seperti yang ia tulis dalam tesis doktornya, Recreation of Etnic Tradition The Betawi of Jakarta.

Kini, orang Betawi sudah jauh berubah. "Kalau dulu panggilan mpok membuat teman saya Chadidjah merasa direndahkan dan terhina, maka sekarang, ketika kawan-kawan sesama guru besar di UI memanggil saya mpok, saya merasa bangga dan terhormat sebagai orang Betawi," ungkap Yasmine.

Yasmine Zaki Shahab
Lahir: Mangga Besar IV, Jakarta Barat, 1 Desember 1948
Suami: Saleh Umar (46)
Anak: Mariam Katlea (34), dan Husein Haikel (29).
Pendidikan: SD Santa Melania, Sawah Besar, Jakarta Pusat,
SMP Santa Maria, Jalan Ir Djuanda, Jakarta Pusat,
SMA Santa Ursula, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat,
Sarjana Antropologi Fisipol UI, Jakarta Pusat,
Master Antropologi Australian National University, Australia
Doktor Antropologi University of London, Inggris.
Pekerjaan: Ketua Departemen dan Guru Besar Antropologi UI

0 Response to "Mengenang Yasmine Zaki Shahab"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel