Polisi dan Amuk Massa di Jakarta

Polisi dan Amuk Massa di JakartaDalam dua bulan terakhir menjelang Hari Bhayangkara 2010 terjadi dua peristiwa amuk massa di Jakarta. Tragisnya menurut blog Kerja Keras bahwa amuk massa ini tidak mampu diatasi aparat kepolisian dengan cepat sehingga jatuh korban dan sejumlah harta benda masyarakat musnah jadi abu. Jika di ibu kota negara saja Polri tidak profesional dalam mengatasi amuk massa, bagaimana lagi di daerah pelosok? Masyarakat tampaknya perlu mencermati masih buruknya kinerja kepolisian tersebut. Dua peristiwa amuk massa di Ibu Kota ini patut menjadi bahan evaluasi. Amuk massa pertama terjadi 14 April 2010. Bentrokan berdarah terjadi antara masyarakat dan petugas Satpol PP yang hendak menggusur makam Mbah Priok di kawasan Koja, Jakarta Utara.

Yang memprihatinkan, saat itu petugas Satpol PP mengedepankan arogansi dan aparat kepolisian tidak segera mengendalikannya sehingga korban pun berjatuhan. Amuk massa kedua terjadi 31 Mei 2010 di Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat. Mnurut informasi yang diterima blog Kerja Keras bahwa amuk massa ini berawal dari tewasnya Endit Mawardi, 43, salah seorang pimpinan sebuah organisasi massa (ormas). Mendengar kabar ini, anggota ormas yang dipimpin Endit pun mencari para pelaku yang diduga berasal dari etnis tertentu di daerah Duri Kosambi. Massa kemudian melakukan pembakaran. Sebanyak 35 lapak pedagang kayu dan beberapa kendaraan hangus dibakar. Dari kronologi kedua kasus ini dapat disimpulkan bahwa amuk massa tersebut terjadi begitu saja tanpa ada upaya pencegahan sehingga tak terkendali. Aparat kepolisian terlalu lamban mengantisipasi situasi. Semua pihak pasti menyesalkan bentrokan berdarah tersebut.

Namun menurut blog Kerja Keras bahwa kedua kasus amuk massa ini menjadi pukulan telak bagi jajaran kepolisian di tengahtengah korps baju cokelat itu gencar- gencarnya mengampanyekan program Polisi Masyarakat/Polmas (Community Police) dan Quick Wins (Quick Response). Peristiwa ini kian terasa tragis karena terjadi di Jakarta. Bagaimanapun kasus amuk massa ini patut menjadi bahan renungan dan introspeksi jajaran kepolisian untuk kemudian mengevaluasi kinerja aparaturnya atas konsep-konsep kerja yang sudah digariskan selama ini. Artinya, sudah sejauh mana konsep Polmas diterapkan, sudah sejauh mana konsep Quick Response dipahami jajaran bawah kepolisian, dan sudah sejauh mana konsep-konsep kemitraan dilaksanakan?

Baca Juga


Meletusnya amuk massa, khususnya di Ibu Kota, menjadi coreng tersendiri bagi pelaksanaan konsep kemitraan yang dibangun Polri selama ini. Menurut blog Kerja Keras bahwa Potensi konflik, terutama amuk massa, sebenarnya bisa dengan cepat diantisipasi jika konsep kemitraan antara polisi dan masyarakat terlaksana dengan sempurna. Masyarakat yang menjadi mitra polisi setidaknya dapat dengan cepat memberikan informasi kepada jajaran kepolisian tentang adanya ancaman atau potensi konflik di sebuah tempat sehingga polisi dengan cepat dapat mengambil langkahlangkah antisipasi. Misalnya, dengan cara menghubungi tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi mitranya untuk segera turun tangan membantu polisi menenangkan warga yang akan berkonflik atau melakukan amuk.

Dalam buku Police for The Future, David Bayley mengungkapkan, di era modern sekarang ini kepolisian perlu mengedepankan penerapan pemolisian komunitas. Konsep ini merupakan alternatif gaya pemolisian yang berorientasi pada masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah di dalam masyarakat itu sendiri. Menurut blog Kerja Keras bahwa dalam hal ini polisi hanya sebagai katalisator atau sebagai fasilitator yang bersama-sama dengan masyarakat di lingkungannya berupaya untuk mengantisipasi atau mencegah gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungannya. Sistem pemolisian modern ini dinilai lebih dapat mengantisipasi dinamika masyarakat yang berkembang demikian cepat dan sulit diprediksi, dengan kompleksitas yang tinggi.

Menurut Pengamatan blog Kerja Keras tak heran jika negaranegara demokrasi dan kota-kota besar di dunia menerapkan sistem pemolisian modern ini. Berkembangluasnya model polisi modern dengan konsep community policing adalah bagian dari strategi kepolisian untuk membangun kepercayaan masyarakat. Hasil penelitian David Bayley di lima negara maju (Australia, Inggris, Kanada, Jepang, dan Amerika Serikat) menyimpulkan bahwa lima negara tersebut sudah mengutamakan kesatuan kepolisian yang dekat dengan masyarakat. Lima negara itu berhasil menerapkan pemolisian komunitas yang berorientasi pada masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah di dalam masyarakat itu sendiri. Bagi Polri program kemitraan sebenarnya bukan hal baru. Pada 1970-an, Polri telah memperkenalkan konsep pembinaan masyarakat dengan menempatkan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) di setiap desa/kelurahan dengan tugas dan peran menjalin kemitraan dengan berbagai pihak, baik formal (kepala desa/ RW/RT) maupun nonformal (tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuda, dan lainnya).

Tapi menurut blog Kerja Keras bahwa program itu kurang berhasil akibat ada jarak antara polisi dan masyarakat. Polisi saat itu dikesankan menakutkan, menyeramkan, tertutup, dan penindas. Seiring dengan tuntutan reformasi, pada 2005 Polri secara resmi memperkenalkan program Polmas (Community Policing), yang merupakan penyempurnaan konsep dan praktik dalam pembinaan masyarakat yang dilakukan aparat Babinkamtibmas. Konsep kemitraan yang dibangun Polri melalui program Polmas memang diharapkan menjadi salah satu strategi untuk membangun citranya pascapisah dari TNI. Namun,terlalu banyak kendala yang dihadapi aparat kepolisian (Babinkamtibmas) yang menjadi ujung tombak Polmas dalam membangun kemitraan tersebut. Pertama, terbatasnya anggaran yang diberikan Polri untuk menjalankan program Polmas dan kemitraan tersebut.

Kedua,kurang diperhatikannya tindak lanjut pengaduan masyarakat binaan Polmas. Hal ini kerap mengganggu proses kemitraan yang sedang dibangun aparat Polmas di lapangan. Pada gilirannya hal ini menciptakan krisis kepercayaan masyarakat terhadap petugas Babinkamtibmas yang menjadi ujung tombak Polmas. Ketiga menurut informasi yang diterima blog Kerja Keras bahwa terbatasnya akses anggota Babinkamtibmas yang menjadi ujung tombak Polmas ke lembaga internalnya (polsek, polres, polda). Akibat itu, setiap perkembangan dan setiap pengaduan yang disampaikan masyarakat binaannya sulit ditindak lanjuti ke tingkat yang lebih tinggi. Keempat, masih tingginya krisis kepercayaan masyarakat terhadap anggota Polri, terutama aparat yang menjadi ujung tombak Polmas. Akibat itu, aparat yang menjadi ujung tombak Polmas tersebut kesulitan membangun konsep-konsep kemitraan di dalam masyarakat yang menjadi binaannya.

Fakta-fakta inilah menjadi kendala akut bagi Polri dalam membangun proses kemitraan dengan masyarakat. Buruknya proses kemitraan tersebut membuat jajaran kepolisian makin kesulitan dalam mendeteksi potensi-potensi kerawanan di tengah-tengah masyarakat. Jadi Menurut blog Kerja Keras jangan heran jika di pusat Ibu Kota negara sekali pun sangat gampang meletus amuk massa. Amuk massa itu bahkan seakan sulit untuk dikendalikan hingga kemudian jatuh korban jiwa dan musnahnya harta benda masyarakat. Kita berharap Polri mencermati fenomena ini. Dirgahayu Polri.

Related Posts

0 Response to "Polisi dan Amuk Massa di Jakarta"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel