Koalisi Partai Baru
Sekedar mengingatkan saja bahwa pada postingan saya sebelumnya membahas tentang Menanti Lahirnya Para Entrepreneur Muda, dan kali ini saya akan membahas tentang Koalisi Partai Baru. Menurut informasi yang diterima blog Kerja Keras melalui mesin pencari bahwa hanya dalam hitungan hari saja pasca pengumuman Sri Mulyani Indrawati mundur sebagai Menteri Keuangan RI, partai politik pendukung koalisi pemerintahan SBY-Boediono bersulang di rumah kediaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas (6/5).
Sepertinya, mundurnya Sri Mulyani menjadi titik kulminasi perjuangan sejumlah partai politik pendukung koalisi yang selama berlangsungnya proses penggunaan hak angket skandal Bank Century di DPR tampil bak singa lapar. Begitu Sri Mulyani mundur, mereka semua kembali masuk kandang untuk merapikan barisan agar tidak terpental dari lingkaran kekuasaan eksekutif.
Dari hasil informasi yang di dapat oleh blog Kerja Keras bahwa bagi Presiden SBY, pengunduran diri Sri Mulyani menjadi modal berharga dan sekaligus menjadi titik awal untuk mendapatkan dukungan yang tak terbelah dari semua partai politik yang selama ini menjadi bagian dari koalisi pemerintahannya. Meskipun tidak ada jaminan bahwa dukungan itu akan bertahan sampai akhir masa pemerintahan (2014), setidaknya dalam beberapa waktu ke depan SBY tidak perlu merasa terancam dengan gerakan menyatakan pendapat yang sedang digalang sejumlah kekuatan politik DPR.
Hampir dapat dipastikan, dengan dukungan yang hampir 76% suara (423 kursi DPR),koalisi akan mengendalikan semua agenda di lembaga legislatif. Dalam pertemuan di Cikeas tersebut semua partai politik pendukung koalisi sepakat untuk memperkokoh dan mengefektifkan koalisi sehingga pemerintah dapat makin banyak berbuat untuk kepentingan rakyat. Selain itu, disepakati membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) Koalisi dengan ketua SBY dan ketua harian Aburizal Bakrie.
Meski tergabung dalam koalisi, mereka sepakat membina koalisi komprehensif baik di pemerintahan maupun di DPR tanpa kehilangan identitas dan eksistensi politik masing-masing. Tugas utama Sekber yang disepakati adalah membahas serta menyepakati isu-isu dan agendaagenda strategis yang dilaksanakan bersama oleh koalisi. Bagaimana menjelaskan hasil kesepakatan Cikeas tersebut dalam bingkai sistem ketatanegaraan Indonesia? Pertanyaan itu menjadi penting karena bangunan demokrasi yang tengah berjalan potensial mengalami mati suri demi kepentingan koalisi.
Selain ancaman atas bangunan demokrasi, melihat jumlah barisan pendukung di DPR, koalisi dapat menghitamputihkan semua agenda kenegaraan, termasuk agenda penegakan hukum. Melihat gejala yang ada, bukan tidak mungkin koalisi akan menjadi benteng baru untuk menghindar dari jeratan hukum. Misalnya, pada pengujung April lalu, Komisi III DPR meminta KPK menghentikan sejumlah kasus korupsi.
Di antara kasus korupsi yang sedang ditangani KPK yang diminta untuk dihentikan adalah kasus penyalahgunaan dana otonomi khusus APBD 2005–2007 Kabupaten Boven Digul yang merugikan keuangan negara Rp49 miliar dan kasus penyalahgunaan dana APBD 2000–2007 Kabupaten Langkat yang merugikan negara Rp31 miliar. Tidak hanya kasus-kasus tersebut, Komisi III DPR juga meminta KPK menghentikan kasus korupsi impor fiktif di Kementerian Sosial dengan tersangka mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah.
Tambah lagi, KPK juga didesak menghentikan skandal penyuapan dan gratifikasi pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom. Dan menurut informasi yang diterima Type Approval baru-baru ini bahwa beredar isu Politik Restu Ancam Demokrat, hal tersebut juga belum begitu akhirnya. Jika ditelusuri semua kasus yang minta dihentikan tersebut, mayoritas tersangkanya berasal dari aktivis yang partai politiknya tergabung dalam koalisi. Karenanya, sangat mungkin, Sekber Koalisi akan menjadi tempat berlindung aktivis partai yang tersangkut kasus korupsi.
Berkaca dari pola hubungan koalisi yang terjadi pada masa pemerintahan SBY-Kalla,banyak kalangan mendorong bangunan koalisi yang efektif.Sebagaimana penulis kemukakan dalam tulisan Membangun Format Koalisi Efektif (Seputar Indonesi, 18/4/09), koalisi efektif adalah koalisi yang menjadi modal untuk membangun negeri ini. Sebelumnya, koalisi tidak sepenuhnya membantu kebijakan pemerintah di DPR. Hal itu diakui secara terbuka oleh SBY.
Dengan merangkul banyak partai, logikanya, setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan DPR. Faktanya, dukungan itu tidak terjadi. Bagaimanapun,melihat jumlah pendukung koalisi, amat mungkin agenda pemerintah dengan koalisi akan berjalan efektif. Namun efektivitas semacam itu potensial mengancam praktik pemerintahan yang efektif, terutama dalam melaksanakan fungsi checks and balancesantara eksekutif dan legislatif.
Dalam konteks itu, efektivitas pemerintahan tidak boleh hanya menempatkan kepentingan ek-sekutif (Presiden) menjadi satu-satunya tujuan pembentukan koalisi. Oleh karena itu,jangan pernah berpikir bahwa membentuk koalisi adalah untuk memudahkan semua agenda eksekutif. Jika itu yang terjadi, pendukung koalisi akan menjadi mesin politik pemerintah di DPR.
Sekiranya hal itu terjadi, DPR akan mengalami kematian hak-hak konstitusional. Selain itu, dengan kekuatan hampir 76%, koalisi yang ada dapat dikatakan sebagai koalisi yang kegemukan (over-size). Dalam literatur yang membahas sistem pemerintahan presidensial sering dikemukakan, koalisi over-size berpotensi menghasilkan pemerintahan otoriter. Sekiranya hal itu terjadi, koalisi hanya efektif untuk kepentingan eksekutif,tetapi akan semakin jauh dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances.
Karenanya dalam literatur dikenal dengan sebutan paradoxes of presidential power atau paradoks sistem presidensial (Arend Lijphart, 1994). Jika harus memilih, akan menjadi lebih baik berada dalam situasi pemerintahan yang tidak stabil daripada memelihara pemerintahan otoriter. Hal yang paling ditakutkan sejumlah kalangan pada saat ini, bangunan koalisi akan bergerak menuju rezim otoriter.
Selain karena alasan jumlah, negeri ini pernah melahirkan pemimpin otoriter ketika mendapat dukungan mayoritas absolut dari DPR. Bahkan gejala ke arah rezim otoriter sudah dapat dibaca ketika ada keinginan untuk merangkul semua partai politik menjadi bagian dari koalisi. Saat ini, dengan dukungan nyaris 76%, ancaman hadirnya rezim masih tetap mengintai. Sekiranya partai politik pendukung deklarasi Cikeas lupa diri,kedatangan rezim otoriter hanya tinggal masalah waktu saja.
Kesepakatan membentuk Sekber Koalisi dengan ketua SBY dan ketua harian Aburizal Bakrie tidak boleh melumpuhkan fungsi lembaga negara yang ada. Yang harusnya dipahami,SBY bukan presiden koalisi dan Aburizal Bakrie bukan wakil presiden koalisi. Rakyat melalui pemilihan umum telah memilih SBY sebagai presiden dan Boediono sebagai wakil presiden.
Jika ada keinginan untuk mereduksi eksistensi lembaga-lembaga negara yang ada, Sekber harus dikatakan melakukan tindakan inkonstitusional. Karena bukan lembaga negara, SBY tidak boleh menempatkan dirinya sebagai Presiden dalam struktur Sekber. Begitu juga, Ketua Harian Sekber tidak boleh mengambil alih peran yang seharusnya dilakukan oleh wakil presiden. Sekiranya hal itu terjadi, Sekber akan menjadi struktur negara bayangan dalam praktik ketatanegaraan ke depan.
Artinya, negeri ini bisa memasuki krisis konstitusional dalam arti yang sesungguhnya. Namun, banyak pihak percaya, iklim politik yang terbangun dalam 10 tahun terakhir akan menyulitkan upaya mengudeta fungsi-fungsi kenegaraan formal yang sudah ada. Yang ditakutkan banyak kalangan, Sekber akan menjadi mesin untuk memutuskan banyak agenda kenegaraan. Sebagaimana dikemukakan di bagian awal, tugas utama Sekber yaitu membahas, menyepakati isu-isu, dan agenda-agenda strategis yang dilaksanakan bersama oleh koalisi.
Kesepakatan ini memberikan multimakna, terutama dalam tugas-tugas DPR ke depan. Jika semua agenda ke depan disepakati di Sekber Koalisi, hampir dapat dipastikan bahwa koalisi akan menguasai semua agenda kenegaraan yang bersentuhan ke depan. Dalam sistem ketatanegaraan kita, hampir tidak ada agendaagenda kenegaraan yang bersentuhan dengan DPR. Jika semuanya harus disepakati Sekber, koalisi akan menjadi tirani mayoritas.
Misalnya, dalam pengisian jabatan publik, karena proses di DPR menggunakan model paket dan bukan dengan pemilihan one man one vote, semua paket yang disepakati Sekber akan menang di DPR. Artinya, ke depan semua jabatan publik akan dikuasai oleh orang-orang Sekber.Atau, setidaktidaknya, hanya orang-orang yang di-endorse Sekber yang akan berhasil meraih dukungan di DPR.
Kalau itu yang terjadi menurut blog Kerja Keras, proses politik di DPR akan menjadi proses politik formal karena semuanya sudah disepakati oleh Sekber. Akibatnya, DPR akan menjadi lembaga yang mengalami mati suri. Oleh karena itu, sekiranya benar-benar ditujukan memperkokoh dan mengefektifkan koalisi sehingga pemerintah dapat makin banyak berbuat untuk kepentingan rakyat, haram bagi Sekber untuk menggantikan eksistensi DPR. Perlu dicatat oleh semua anggota koalisi, Sekber bukan DPR. Sebab itu, jangan pernah mereduksi peran DPR demi kepentingan politik sesaat.
Sepertinya, mundurnya Sri Mulyani menjadi titik kulminasi perjuangan sejumlah partai politik pendukung koalisi yang selama berlangsungnya proses penggunaan hak angket skandal Bank Century di DPR tampil bak singa lapar. Begitu Sri Mulyani mundur, mereka semua kembali masuk kandang untuk merapikan barisan agar tidak terpental dari lingkaran kekuasaan eksekutif.
Dari hasil informasi yang di dapat oleh blog Kerja Keras bahwa bagi Presiden SBY, pengunduran diri Sri Mulyani menjadi modal berharga dan sekaligus menjadi titik awal untuk mendapatkan dukungan yang tak terbelah dari semua partai politik yang selama ini menjadi bagian dari koalisi pemerintahannya. Meskipun tidak ada jaminan bahwa dukungan itu akan bertahan sampai akhir masa pemerintahan (2014), setidaknya dalam beberapa waktu ke depan SBY tidak perlu merasa terancam dengan gerakan menyatakan pendapat yang sedang digalang sejumlah kekuatan politik DPR.
Hampir dapat dipastikan, dengan dukungan yang hampir 76% suara (423 kursi DPR),koalisi akan mengendalikan semua agenda di lembaga legislatif. Dalam pertemuan di Cikeas tersebut semua partai politik pendukung koalisi sepakat untuk memperkokoh dan mengefektifkan koalisi sehingga pemerintah dapat makin banyak berbuat untuk kepentingan rakyat. Selain itu, disepakati membentuk Sekretariat Bersama (Sekber) Koalisi dengan ketua SBY dan ketua harian Aburizal Bakrie.
Meski tergabung dalam koalisi, mereka sepakat membina koalisi komprehensif baik di pemerintahan maupun di DPR tanpa kehilangan identitas dan eksistensi politik masing-masing. Tugas utama Sekber yang disepakati adalah membahas serta menyepakati isu-isu dan agendaagenda strategis yang dilaksanakan bersama oleh koalisi. Bagaimana menjelaskan hasil kesepakatan Cikeas tersebut dalam bingkai sistem ketatanegaraan Indonesia? Pertanyaan itu menjadi penting karena bangunan demokrasi yang tengah berjalan potensial mengalami mati suri demi kepentingan koalisi.
Selain ancaman atas bangunan demokrasi, melihat jumlah barisan pendukung di DPR, koalisi dapat menghitamputihkan semua agenda kenegaraan, termasuk agenda penegakan hukum. Melihat gejala yang ada, bukan tidak mungkin koalisi akan menjadi benteng baru untuk menghindar dari jeratan hukum. Misalnya, pada pengujung April lalu, Komisi III DPR meminta KPK menghentikan sejumlah kasus korupsi.
Di antara kasus korupsi yang sedang ditangani KPK yang diminta untuk dihentikan adalah kasus penyalahgunaan dana otonomi khusus APBD 2005–2007 Kabupaten Boven Digul yang merugikan keuangan negara Rp49 miliar dan kasus penyalahgunaan dana APBD 2000–2007 Kabupaten Langkat yang merugikan negara Rp31 miliar. Tidak hanya kasus-kasus tersebut, Komisi III DPR juga meminta KPK menghentikan kasus korupsi impor fiktif di Kementerian Sosial dengan tersangka mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah.
Tambah lagi, KPK juga didesak menghentikan skandal penyuapan dan gratifikasi pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom. Dan menurut informasi yang diterima Type Approval baru-baru ini bahwa beredar isu Politik Restu Ancam Demokrat, hal tersebut juga belum begitu akhirnya. Jika ditelusuri semua kasus yang minta dihentikan tersebut, mayoritas tersangkanya berasal dari aktivis yang partai politiknya tergabung dalam koalisi. Karenanya, sangat mungkin, Sekber Koalisi akan menjadi tempat berlindung aktivis partai yang tersangkut kasus korupsi.
Berkaca dari pola hubungan koalisi yang terjadi pada masa pemerintahan SBY-Kalla,banyak kalangan mendorong bangunan koalisi yang efektif.Sebagaimana penulis kemukakan dalam tulisan Membangun Format Koalisi Efektif (Seputar Indonesi, 18/4/09), koalisi efektif adalah koalisi yang menjadi modal untuk membangun negeri ini. Sebelumnya, koalisi tidak sepenuhnya membantu kebijakan pemerintah di DPR. Hal itu diakui secara terbuka oleh SBY.
Dengan merangkul banyak partai, logikanya, setiap kebijakan pemerintah akan mendapat dukungan DPR. Faktanya, dukungan itu tidak terjadi. Bagaimanapun,melihat jumlah pendukung koalisi, amat mungkin agenda pemerintah dengan koalisi akan berjalan efektif. Namun efektivitas semacam itu potensial mengancam praktik pemerintahan yang efektif, terutama dalam melaksanakan fungsi checks and balancesantara eksekutif dan legislatif.
Dalam konteks itu, efektivitas pemerintahan tidak boleh hanya menempatkan kepentingan ek-sekutif (Presiden) menjadi satu-satunya tujuan pembentukan koalisi. Oleh karena itu,jangan pernah berpikir bahwa membentuk koalisi adalah untuk memudahkan semua agenda eksekutif. Jika itu yang terjadi, pendukung koalisi akan menjadi mesin politik pemerintah di DPR.
Sekiranya hal itu terjadi, DPR akan mengalami kematian hak-hak konstitusional. Selain itu, dengan kekuatan hampir 76%, koalisi yang ada dapat dikatakan sebagai koalisi yang kegemukan (over-size). Dalam literatur yang membahas sistem pemerintahan presidensial sering dikemukakan, koalisi over-size berpotensi menghasilkan pemerintahan otoriter. Sekiranya hal itu terjadi, koalisi hanya efektif untuk kepentingan eksekutif,tetapi akan semakin jauh dari upaya mewujudkan mekanisme checks and balances.
Karenanya dalam literatur dikenal dengan sebutan paradoxes of presidential power atau paradoks sistem presidensial (Arend Lijphart, 1994). Jika harus memilih, akan menjadi lebih baik berada dalam situasi pemerintahan yang tidak stabil daripada memelihara pemerintahan otoriter. Hal yang paling ditakutkan sejumlah kalangan pada saat ini, bangunan koalisi akan bergerak menuju rezim otoriter.
Selain karena alasan jumlah, negeri ini pernah melahirkan pemimpin otoriter ketika mendapat dukungan mayoritas absolut dari DPR. Bahkan gejala ke arah rezim otoriter sudah dapat dibaca ketika ada keinginan untuk merangkul semua partai politik menjadi bagian dari koalisi. Saat ini, dengan dukungan nyaris 76%, ancaman hadirnya rezim masih tetap mengintai. Sekiranya partai politik pendukung deklarasi Cikeas lupa diri,kedatangan rezim otoriter hanya tinggal masalah waktu saja.
Kesepakatan membentuk Sekber Koalisi dengan ketua SBY dan ketua harian Aburizal Bakrie tidak boleh melumpuhkan fungsi lembaga negara yang ada. Yang harusnya dipahami,SBY bukan presiden koalisi dan Aburizal Bakrie bukan wakil presiden koalisi. Rakyat melalui pemilihan umum telah memilih SBY sebagai presiden dan Boediono sebagai wakil presiden.
Jika ada keinginan untuk mereduksi eksistensi lembaga-lembaga negara yang ada, Sekber harus dikatakan melakukan tindakan inkonstitusional. Karena bukan lembaga negara, SBY tidak boleh menempatkan dirinya sebagai Presiden dalam struktur Sekber. Begitu juga, Ketua Harian Sekber tidak boleh mengambil alih peran yang seharusnya dilakukan oleh wakil presiden. Sekiranya hal itu terjadi, Sekber akan menjadi struktur negara bayangan dalam praktik ketatanegaraan ke depan.
Artinya, negeri ini bisa memasuki krisis konstitusional dalam arti yang sesungguhnya. Namun, banyak pihak percaya, iklim politik yang terbangun dalam 10 tahun terakhir akan menyulitkan upaya mengudeta fungsi-fungsi kenegaraan formal yang sudah ada. Yang ditakutkan banyak kalangan, Sekber akan menjadi mesin untuk memutuskan banyak agenda kenegaraan. Sebagaimana dikemukakan di bagian awal, tugas utama Sekber yaitu membahas, menyepakati isu-isu, dan agenda-agenda strategis yang dilaksanakan bersama oleh koalisi.
Kesepakatan ini memberikan multimakna, terutama dalam tugas-tugas DPR ke depan. Jika semua agenda ke depan disepakati di Sekber Koalisi, hampir dapat dipastikan bahwa koalisi akan menguasai semua agenda kenegaraan yang bersentuhan ke depan. Dalam sistem ketatanegaraan kita, hampir tidak ada agendaagenda kenegaraan yang bersentuhan dengan DPR. Jika semuanya harus disepakati Sekber, koalisi akan menjadi tirani mayoritas.
Misalnya, dalam pengisian jabatan publik, karena proses di DPR menggunakan model paket dan bukan dengan pemilihan one man one vote, semua paket yang disepakati Sekber akan menang di DPR. Artinya, ke depan semua jabatan publik akan dikuasai oleh orang-orang Sekber.Atau, setidaktidaknya, hanya orang-orang yang di-endorse Sekber yang akan berhasil meraih dukungan di DPR.
Kalau itu yang terjadi menurut blog Kerja Keras, proses politik di DPR akan menjadi proses politik formal karena semuanya sudah disepakati oleh Sekber. Akibatnya, DPR akan menjadi lembaga yang mengalami mati suri. Oleh karena itu, sekiranya benar-benar ditujukan memperkokoh dan mengefektifkan koalisi sehingga pemerintah dapat makin banyak berbuat untuk kepentingan rakyat, haram bagi Sekber untuk menggantikan eksistensi DPR. Perlu dicatat oleh semua anggota koalisi, Sekber bukan DPR. Sebab itu, jangan pernah mereduksi peran DPR demi kepentingan politik sesaat.
0 Response to "Koalisi Partai Baru"
Posting Komentar