Pengertian Makan
Makan itu tidak hanya soal rasa, tetapi juga demi ketenteraman jiwa. Dengan makan, hati menjadi tenang. Apalagi jika makan di tempat-tempat yang menjadi kenangan. Tidak hanya perut kenyang, hati tenang, tetapi juga pikiran menjadi nyaman karena bernostalgia ke masa lalu lewat hidangan yang disantap.
Nostalgia memang selalu menyenangkan. Bahkan, ada yang bilang, kejadian paling buruk pun baru terasa keindahannya apabila sudah menjadi kenangan. Hal inilah yang membuat banyak orang terus memburu restoran-restoran yang bisa membawa kenangan akan masa lalu.
Di Jakarta, restoran yang membawa kenangan masa lalu cukup banyak. Restoran-restoran ini unik karena bisa bertahan walaupun usianya sudah puluhan tahun. Walaupun banyak yang sudah berpindah tangan, entah dijual atau diwariskan, restoran itu tetap menjadi tempat tujuan justru karena tidak berubah.
Salah satu restoran yang menjadi tujuan untuk bernostalgia adalah Natrabu di Jalan Agus Salim, Sabang, Jakarta Pusat. Restoran yang awalnya perusahaan travel itu kini lebih dikenal sebagai restoran padang tua.
Restoran ini sudah berdiri sejak 23 Oktober 1958. Pendirinya, Rahimi Sutan, mendirikan restoran ini untuk memperkenalkan budaya dan tradisi masyarakat Minang kepada warga Jakarta, khususnya pemakai jasa travel dan pariwisatanya. Restoran ini semakin dikenal masyarakat karena letaknya di pusat jajan Sabang yang dekat dengan perkantoran. Akibatnya, nama Natrabu tidak asing lagi bagi warga Jakarta.
Patrick (45), warga Bintaro, mengaku mengenal nama Natrabu dari tantenya yang bekerja di bilangan Thamrin. ”Pertama kali saya kenal Natrabu waktu saya masih duduk di SMA. Diajak tante makan di Natrabu, enak banget. Sejak itu, saya sering ke sini,” kata Patrick.
Menurut Patrick, dia bukanlah orang yang senang dengan sambal dan makanan pedas. Namun, dia mengaku ngefans berat dengan dendeng balado dan sambel lado ijo Natrabu.
Dendeng balado, menurut Ade Babai, salah seorang karyawan Natrabu, memang menu favorit di Natrabu. Bahkan, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad juga selalu memesan menu ini setiap kali ke Jakarta. Foto-foto Mahathir dan pejabat-pejabat Kerajaan Diraja Malaysia yang terpampang jelas di dinding pintu masuk Natrabu menjadi bukti nyata bahwa masakan Natrabu sangat digemari.
Apabila Natrabu menyajikan kenangan akan masakan khas Minang, cobalah datang ke Restoran Miranda di Jalan Besuki, Menteng, Jakarta Pusat. Restoran ini sebenarnya sudah berdiri sejak lama, mungkin jauh sebelum Natrabu.
Awalnya, restoran ini bernama Cokky. Lalu, pada tahun 1960-an, restoran ini berubah nama menjadi Tan Goei. Pada tahun 1998, ketika terjadi kerusuhan dan ada imbauan dari pemerintah agar semua restoran memakai nama berbahasa Indonesia, pemilik Tan Goei, Johnny Surjono, mengubah restorannya menjadi Miranda. Namun, Johnny tetap mempertahankan menunya, yakni menu campuran Jawa, China, dan Belanda. Beberapa menu klasik yang ditawarkan adalah lontong cap gomeh, steik lidah, lumpia, fuyunghai, capcai, kue kastengel, dan kue lidah kucing.
Tidak hanya menunya yang klasik. Atmosfer di restoran ini juga terasa sangat klasik, dengan pilihan meja-kursi dan ornamennya. Selain itu, restoran ini juga memutar musik tahun 1960-an berbahasa Jerman, Inggris, dan Indonesia.
Warto, salah seorang karyawan Miranda, mengatakan, Miranda memang menjadi tempat mangkal orang-orang yang mau bernostalgia atau mengecap suasana tempo doeloe.
”Ada yang sejak pacaran hingga sekarang sudah punya anak masih sering ke sini. Yang dipesan juga itu-itu saja. Mungkin mereka belum menemukan di restoran lain makanan selezat di Miranda,” kata Warto.
Gondangdia
Masih di seputaran Menteng, rumah makan Mie Ayam Gondangdia juga menjadi tempat makan yang penuh kenangan.
Tampak dari luar, rumah makan yang terletak di Jalan RP Soeroso Nomor 36, Jakarta Pusat, ini sederhana. Letak rumah makan berwarna hijau (ciri khasnya) itu hampir bersebelahan dengan jalan layang kereta api. Jangan heran ketika sedang menikmati santapan mi terdengar bunyi kereta lewat.
Usaha Mie Ayam Gondangdia didirikan tahun 1968 dengan tiga pegawai. Saat itu tak banyak rumah makan di daerah Gondangdia Lama. Hanya ada Rumah Makan Trio dan Bakmi Tip Top.
Selain siswa Dancer School, pelanggannya adalah anak muda yang biasanya nongkrong di stasiun radio Godila. Selanjutnya, para siswa SMP Negeri 1 Cikini, SMA Negeri 1 di Jalan Buah Batu, dan mahasiswa Universitas Indonesia Salemba menjadi pelanggan tetap rumah makan ini.
Seiring dengan perjalanan waktu, pelanggan rumah makan ini bertambah, termasuk para tetangga yang pernah tinggal di kawasan itu. Bahkan, saat Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden RI, Taufiq Kiemas pernah makan di tempat ini. Saat dibuka, harga mi di rumah makan ini Rp 50 per mangkuk. Saat ini, harga mi ayam Rp 25.000 sampai Rp 30.000 per porsi, tergantung variasinya.
Semula, menu yang disajikan hanya mi ayam. Namun, lama-kelamaan dengan makin banyaknya pengunjung, variasi makanan mulai diciptakan. Tak hanya mi ayam, tetapi ada juga mi bakso pangsit, bakso kuah, kwetiau, aneka nasi (seperti nasi goreng dan nasi tim), capcai, serta kailan sapi. Begitu juga dengan mi, variasi diciptakan untuk memberikan selera berbeda bagi pengunjung. Ada mi ayam jamur, bakso, pangsit goreng atau rebus, dan kailan sapi.
Berbeda dengan makanan serupa buatan orang lain, Mie Ayam Gondangdia memiliki kekhasan, yaitu mi berbentuk kecil dan empuk. Mi ini dipasok khusus oleh pemasok secara turun-temurun. Kalau Mie Ayam Gondangdia milik Kurniadi (75) masih satu generasi, pemasok minya sudah dua generasi. Ayo, putar ulang kenangan itu pada akhir pekan ini.
Nostalgia memang selalu menyenangkan. Bahkan, ada yang bilang, kejadian paling buruk pun baru terasa keindahannya apabila sudah menjadi kenangan. Hal inilah yang membuat banyak orang terus memburu restoran-restoran yang bisa membawa kenangan akan masa lalu.
Di Jakarta, restoran yang membawa kenangan masa lalu cukup banyak. Restoran-restoran ini unik karena bisa bertahan walaupun usianya sudah puluhan tahun. Walaupun banyak yang sudah berpindah tangan, entah dijual atau diwariskan, restoran itu tetap menjadi tempat tujuan justru karena tidak berubah.
Salah satu restoran yang menjadi tujuan untuk bernostalgia adalah Natrabu di Jalan Agus Salim, Sabang, Jakarta Pusat. Restoran yang awalnya perusahaan travel itu kini lebih dikenal sebagai restoran padang tua.
Restoran ini sudah berdiri sejak 23 Oktober 1958. Pendirinya, Rahimi Sutan, mendirikan restoran ini untuk memperkenalkan budaya dan tradisi masyarakat Minang kepada warga Jakarta, khususnya pemakai jasa travel dan pariwisatanya. Restoran ini semakin dikenal masyarakat karena letaknya di pusat jajan Sabang yang dekat dengan perkantoran. Akibatnya, nama Natrabu tidak asing lagi bagi warga Jakarta.
Patrick (45), warga Bintaro, mengaku mengenal nama Natrabu dari tantenya yang bekerja di bilangan Thamrin. ”Pertama kali saya kenal Natrabu waktu saya masih duduk di SMA. Diajak tante makan di Natrabu, enak banget. Sejak itu, saya sering ke sini,” kata Patrick.
Menurut Patrick, dia bukanlah orang yang senang dengan sambal dan makanan pedas. Namun, dia mengaku ngefans berat dengan dendeng balado dan sambel lado ijo Natrabu.
Dendeng balado, menurut Ade Babai, salah seorang karyawan Natrabu, memang menu favorit di Natrabu. Bahkan, mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad juga selalu memesan menu ini setiap kali ke Jakarta. Foto-foto Mahathir dan pejabat-pejabat Kerajaan Diraja Malaysia yang terpampang jelas di dinding pintu masuk Natrabu menjadi bukti nyata bahwa masakan Natrabu sangat digemari.
Apabila Natrabu menyajikan kenangan akan masakan khas Minang, cobalah datang ke Restoran Miranda di Jalan Besuki, Menteng, Jakarta Pusat. Restoran ini sebenarnya sudah berdiri sejak lama, mungkin jauh sebelum Natrabu.
Awalnya, restoran ini bernama Cokky. Lalu, pada tahun 1960-an, restoran ini berubah nama menjadi Tan Goei. Pada tahun 1998, ketika terjadi kerusuhan dan ada imbauan dari pemerintah agar semua restoran memakai nama berbahasa Indonesia, pemilik Tan Goei, Johnny Surjono, mengubah restorannya menjadi Miranda. Namun, Johnny tetap mempertahankan menunya, yakni menu campuran Jawa, China, dan Belanda. Beberapa menu klasik yang ditawarkan adalah lontong cap gomeh, steik lidah, lumpia, fuyunghai, capcai, kue kastengel, dan kue lidah kucing.
Tidak hanya menunya yang klasik. Atmosfer di restoran ini juga terasa sangat klasik, dengan pilihan meja-kursi dan ornamennya. Selain itu, restoran ini juga memutar musik tahun 1960-an berbahasa Jerman, Inggris, dan Indonesia.
Warto, salah seorang karyawan Miranda, mengatakan, Miranda memang menjadi tempat mangkal orang-orang yang mau bernostalgia atau mengecap suasana tempo doeloe.
”Ada yang sejak pacaran hingga sekarang sudah punya anak masih sering ke sini. Yang dipesan juga itu-itu saja. Mungkin mereka belum menemukan di restoran lain makanan selezat di Miranda,” kata Warto.
Gondangdia
Masih di seputaran Menteng, rumah makan Mie Ayam Gondangdia juga menjadi tempat makan yang penuh kenangan.
Tampak dari luar, rumah makan yang terletak di Jalan RP Soeroso Nomor 36, Jakarta Pusat, ini sederhana. Letak rumah makan berwarna hijau (ciri khasnya) itu hampir bersebelahan dengan jalan layang kereta api. Jangan heran ketika sedang menikmati santapan mi terdengar bunyi kereta lewat.
Usaha Mie Ayam Gondangdia didirikan tahun 1968 dengan tiga pegawai. Saat itu tak banyak rumah makan di daerah Gondangdia Lama. Hanya ada Rumah Makan Trio dan Bakmi Tip Top.
Selain siswa Dancer School, pelanggannya adalah anak muda yang biasanya nongkrong di stasiun radio Godila. Selanjutnya, para siswa SMP Negeri 1 Cikini, SMA Negeri 1 di Jalan Buah Batu, dan mahasiswa Universitas Indonesia Salemba menjadi pelanggan tetap rumah makan ini.
Seiring dengan perjalanan waktu, pelanggan rumah makan ini bertambah, termasuk para tetangga yang pernah tinggal di kawasan itu. Bahkan, saat Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden RI, Taufiq Kiemas pernah makan di tempat ini. Saat dibuka, harga mi di rumah makan ini Rp 50 per mangkuk. Saat ini, harga mi ayam Rp 25.000 sampai Rp 30.000 per porsi, tergantung variasinya.
Semula, menu yang disajikan hanya mi ayam. Namun, lama-kelamaan dengan makin banyaknya pengunjung, variasi makanan mulai diciptakan. Tak hanya mi ayam, tetapi ada juga mi bakso pangsit, bakso kuah, kwetiau, aneka nasi (seperti nasi goreng dan nasi tim), capcai, serta kailan sapi. Begitu juga dengan mi, variasi diciptakan untuk memberikan selera berbeda bagi pengunjung. Ada mi ayam jamur, bakso, pangsit goreng atau rebus, dan kailan sapi.
Berbeda dengan makanan serupa buatan orang lain, Mie Ayam Gondangdia memiliki kekhasan, yaitu mi berbentuk kecil dan empuk. Mi ini dipasok khusus oleh pemasok secara turun-temurun. Kalau Mie Ayam Gondangdia milik Kurniadi (75) masih satu generasi, pemasok minya sudah dua generasi. Ayo, putar ulang kenangan itu pada akhir pekan ini.
0 Response to "Pengertian Makan"
Posting Komentar