Politik Restu Ancam Demokrat
Tiga kandidat Ketua Umum Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dan Marzuki Alie, tak hanya bersaing merebut dukungan cabang-cabang partai di daerah, tetapi juga restu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut informasi yang diterima blog Kerja Keras.
Restu SBY bisa jadi merupakan faktor penentu siapa yang akhirnya memimpin Demokrat lima tahun ke depan? Benarkah? Sulit dimungkiri bahwa SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat memiliki pengaruh, karisma, dan kewibawaan luar biasa di kalangan internal partai. Kemenangan Demokrat pada Pemilu 2009 tak bisa dipisahkan dari popularitas SBY. Tidak mengherankan jika setiap keputusan strategis Demokrat pada dasarnya adalah keputusan SBY selaku pembina partai.
Kedudukan SBY dalam Partai Demokrat dapat diibaratkan dengan posisi mantan Presiden Soeharto dalam Golongan Karya (Golkar) yang juga menjadi sumber restu bagi calon Ketua Umum Golkar. Karena itu, kalaupun para kandidat Ketua Umum Demokrat sangat berharap atas restu dan dukungan dari keluarga Puri Cikeas, tentu hal tersebut tidak berlebihan.
Kultur politik serupa tak hanya pernah melembaga pada Soeharto dan Golkar,tetapi juga secara longgar berlaku dalam relasi almarhum Abdurrahman Wahid dan Partai Kebangkitan Bangsa, Amien Rais dan Partai Amanat Nasional, serta Megawati dan PDI Perjuangan. Persoalannya barangkali lebih terletak pada momentum pemberian restu itu sendiri. Pemberian restu oleh SBY di awal atau jauhjauh hari sebelum kongres jelas berbeda dampak politiknya dengan restu yang diberikan setelah kandidat ketua umum terpilih secara demokratis melalui kongres partai.
Pada era Orde Baru, almarhum mantan Presiden Soeharto hampir selalu memberi restu kepada calon Ketua Umum Golkar beberapa waktu sebelum musyawarah nasional (munas) berlangsung. Akibatnya, Munas Golkar hampir selalu berlangsung secara aklamasi karena calon ketua umum sudah dipilih sebelumnya oleh Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar. Munas ibaratnya hanya mengesahkan keputusan yang telah diambil Soeharto.
Mekanisme demikian tentu wajar saja dalam sistem politik otoriter. Negara Orde Baru sendiri hampir identik dengan sosok Soeharto sehingga apa pun pilihan personal anak petani dari Desa Kemusuk, Yogyakarta, itu hampir selalu menjadi keputusan institusional Golkar dan bahkan lembagalembaga negara di bawah Orde Baru.
Meski demikian, yang berlaku saat ini adalah sistem demokrasi. Presiden SBY jelas tidak mau dipersamakan dengan Soeharto yang berkuasa secara otoriter.Karena itu pula, sulit dipercaya jika SBY selaku seorang demokrat memberi restu secara prematur (di awal) terhadap salah seorang kandidat Ketua Umum Partai Demokrat sebelum kongres berlangsung.
Oleh karena itu menurut Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, kalaupun Presiden SBY harus memberikan restu atas salah seorang kandidat ketua umum, pilihan terbaik adalah memberikannya di akhir. Artinya, SBY memberi restu kepada siapa pun yang terpilih secara demokratis dalam arena kongres. Jadi restu SBY tidak didasarkan pada pilihan personal terhadap para kandidat, melainkan lebih didasarkan pada suara arus bawah partai, yakni para pengurus cabang partai dari daerah-daerah, seperti tecermin dalam kongres.
Pilihan demikian tidak hanya akan menghindarkan citra buruk Partai Demokrat sebagai foto kopi Golkar pada era Orde Baru, tetapi juga menyelamatkan SBY dari tuduhan dipersamakan dengan Soeharto yang memperlakukan kongres atau munas parpol tak lebih sebagai forum legitimasi keputusan personal sang pandito Orde Baru. Lebih jauh lagi, pemberian restu atas dasar suara arus bawah partai jelas akan makin meningkatkan citra positif Partai Demokrat sebagai peletak dasar demokrasi internal partai.
Gabungan antara dukungan arus bawah dan restu dari atas bagi kandidat ketua umum akan menjadi modal besar bagi Partai Demokrat dalam menghadapi kompetisi antarparpol yang semakin keras pada Pemilu 2014. Selain itu, pemberian restu atas dasar suara arus bawah juga akan mengharumkan nama SBY sendiri selaku pemimpin yang demokratis dalam ucapan dan perilaku.
Hanya saja problemnya adalah bahwa jajaran pengurus Partai Demokrat di daerah mungkin tidak akan memberikan dukungan terhadap salah satu kandidat ketua umum sebelum ada sinyal restu dari SBY. Para pengurus daerah jelas tidak mau pilihan mereka bertentangan dengan kehendak dan pilihan ketua dewan pembina yang secara objektif merupakan sumber daya terbesar partai ini.
Kecenderungan sikap yang sama bisa jadi juga berkembang pada jajaran pengurus pusat partai ini. Dalam situasi demikian tak ada pilihan lain bagi Presiden SBY kecuali menyatakan secara terbuka bahwa dia akan mendukung siapa pun yang terpilih sebagai ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat. Pernyataan terbuka secara publik juga perlu dilakukan oleh SBY agar tidak ada manipulasi informasi bahwa seolah-olah keluarga Puri Cikeas telah memberi restu atas kandidat tertentu.
Biarkanlah tiga kandidat ketua umum, Andi, Anas, dan Marzuki, bersaing atas dasar visi mereka sehingga siapa pun yang terpilih benar-benar bisa mewakili harapan Partai Demokrat tentang Indonesia masa depan. Lagipula, sudah saatnya SBY mewariskan tradisi berdemokrasi yang tidak hanya fair dan santun,
seperti berkali-kali dinyatakan secara publik oleh Presiden, tetapi juga kultur politik yang menghargai dan menjadikan suara arus bawah sebagai roh demokrasi. Menurut pengamatan blog Kerja Keras bahwa politik restu mungkin menjamin harmoni politik jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang ia bisa menjadi kuburan bagi demokrasi itu sendiri.
Restu SBY bisa jadi merupakan faktor penentu siapa yang akhirnya memimpin Demokrat lima tahun ke depan? Benarkah? Sulit dimungkiri bahwa SBY selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat memiliki pengaruh, karisma, dan kewibawaan luar biasa di kalangan internal partai. Kemenangan Demokrat pada Pemilu 2009 tak bisa dipisahkan dari popularitas SBY. Tidak mengherankan jika setiap keputusan strategis Demokrat pada dasarnya adalah keputusan SBY selaku pembina partai.
Kedudukan SBY dalam Partai Demokrat dapat diibaratkan dengan posisi mantan Presiden Soeharto dalam Golongan Karya (Golkar) yang juga menjadi sumber restu bagi calon Ketua Umum Golkar. Karena itu, kalaupun para kandidat Ketua Umum Demokrat sangat berharap atas restu dan dukungan dari keluarga Puri Cikeas, tentu hal tersebut tidak berlebihan.
Kultur politik serupa tak hanya pernah melembaga pada Soeharto dan Golkar,tetapi juga secara longgar berlaku dalam relasi almarhum Abdurrahman Wahid dan Partai Kebangkitan Bangsa, Amien Rais dan Partai Amanat Nasional, serta Megawati dan PDI Perjuangan. Persoalannya barangkali lebih terletak pada momentum pemberian restu itu sendiri. Pemberian restu oleh SBY di awal atau jauhjauh hari sebelum kongres jelas berbeda dampak politiknya dengan restu yang diberikan setelah kandidat ketua umum terpilih secara demokratis melalui kongres partai.
Pada era Orde Baru, almarhum mantan Presiden Soeharto hampir selalu memberi restu kepada calon Ketua Umum Golkar beberapa waktu sebelum musyawarah nasional (munas) berlangsung. Akibatnya, Munas Golkar hampir selalu berlangsung secara aklamasi karena calon ketua umum sudah dipilih sebelumnya oleh Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar. Munas ibaratnya hanya mengesahkan keputusan yang telah diambil Soeharto.
Mekanisme demikian tentu wajar saja dalam sistem politik otoriter. Negara Orde Baru sendiri hampir identik dengan sosok Soeharto sehingga apa pun pilihan personal anak petani dari Desa Kemusuk, Yogyakarta, itu hampir selalu menjadi keputusan institusional Golkar dan bahkan lembagalembaga negara di bawah Orde Baru.
Meski demikian, yang berlaku saat ini adalah sistem demokrasi. Presiden SBY jelas tidak mau dipersamakan dengan Soeharto yang berkuasa secara otoriter.Karena itu pula, sulit dipercaya jika SBY selaku seorang demokrat memberi restu secara prematur (di awal) terhadap salah seorang kandidat Ketua Umum Partai Demokrat sebelum kongres berlangsung.
Oleh karena itu menurut Piala Dunia 2010 Afrika Selatan, kalaupun Presiden SBY harus memberikan restu atas salah seorang kandidat ketua umum, pilihan terbaik adalah memberikannya di akhir. Artinya, SBY memberi restu kepada siapa pun yang terpilih secara demokratis dalam arena kongres. Jadi restu SBY tidak didasarkan pada pilihan personal terhadap para kandidat, melainkan lebih didasarkan pada suara arus bawah partai, yakni para pengurus cabang partai dari daerah-daerah, seperti tecermin dalam kongres.
Pilihan demikian tidak hanya akan menghindarkan citra buruk Partai Demokrat sebagai foto kopi Golkar pada era Orde Baru, tetapi juga menyelamatkan SBY dari tuduhan dipersamakan dengan Soeharto yang memperlakukan kongres atau munas parpol tak lebih sebagai forum legitimasi keputusan personal sang pandito Orde Baru. Lebih jauh lagi, pemberian restu atas dasar suara arus bawah partai jelas akan makin meningkatkan citra positif Partai Demokrat sebagai peletak dasar demokrasi internal partai.
Gabungan antara dukungan arus bawah dan restu dari atas bagi kandidat ketua umum akan menjadi modal besar bagi Partai Demokrat dalam menghadapi kompetisi antarparpol yang semakin keras pada Pemilu 2014. Selain itu, pemberian restu atas dasar suara arus bawah juga akan mengharumkan nama SBY sendiri selaku pemimpin yang demokratis dalam ucapan dan perilaku.
Hanya saja problemnya adalah bahwa jajaran pengurus Partai Demokrat di daerah mungkin tidak akan memberikan dukungan terhadap salah satu kandidat ketua umum sebelum ada sinyal restu dari SBY. Para pengurus daerah jelas tidak mau pilihan mereka bertentangan dengan kehendak dan pilihan ketua dewan pembina yang secara objektif merupakan sumber daya terbesar partai ini.
Kecenderungan sikap yang sama bisa jadi juga berkembang pada jajaran pengurus pusat partai ini. Dalam situasi demikian tak ada pilihan lain bagi Presiden SBY kecuali menyatakan secara terbuka bahwa dia akan mendukung siapa pun yang terpilih sebagai ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat. Pernyataan terbuka secara publik juga perlu dilakukan oleh SBY agar tidak ada manipulasi informasi bahwa seolah-olah keluarga Puri Cikeas telah memberi restu atas kandidat tertentu.
Biarkanlah tiga kandidat ketua umum, Andi, Anas, dan Marzuki, bersaing atas dasar visi mereka sehingga siapa pun yang terpilih benar-benar bisa mewakili harapan Partai Demokrat tentang Indonesia masa depan. Lagipula, sudah saatnya SBY mewariskan tradisi berdemokrasi yang tidak hanya fair dan santun,
seperti berkali-kali dinyatakan secara publik oleh Presiden, tetapi juga kultur politik yang menghargai dan menjadikan suara arus bawah sebagai roh demokrasi. Menurut pengamatan blog Kerja Keras bahwa politik restu mungkin menjamin harmoni politik jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang ia bisa menjadi kuburan bagi demokrasi itu sendiri.
0 Response to "Politik Restu Ancam Demokrat"
Posting Komentar